Pemulihan Ekonomi 2022 & Wisata Olah raga

Ketika Indonesia mengajukan proposal sebagai tuan rumah Asian Games di tahun 2014, muncul berbagai kritik dari berbagai pihak. Salah satu media berbahasa Inggris berbasis di Indonesia—The Jakarta Post—sempat menuliskan editorial bernada keras bahwa Indonesia, sejak Asian Games pertama kali diselenggarakan di tahun 1962, tidak membangun infrastruktur olah raga bertaraf internasional. Media ini tidak sendiri, banyak pihak yang merasa Indonesia belum siap menjadi tuan rumah acara olah raga internasional dan mustahil melakukan dalam waktu singkat.

Namun semua berubah drastis di tahun 2018. Dalam waktu kurang dari empat tahun, Indonesia berhasil menyiapkan Asian Games 2018 dengan sukses dan di luar ekspektasi. Media yang sama bahkan menulis “Few would deny that Indonesia did a great job in making the 18th Asian Games…As the host with only three years to prepare…., Indonesia worked day and night to makes sure Jakarta and Palembang were the right places for the continent’s best athletes to excel”.

Semua sepakat dengan media tersebut: public, nasional dan internasional, dibuat terkaget dengan kemampuan Indonesia menyelenggarakan acara olah raga internasional berskala besar dengan baik. Kita disajikan pembukaan seremonial Asian Games yang megah, lalu penyelenggaran kegiatan kompetisi olah raga yang berjalan baik dan penutupan yang sederhana namun menguatkan pesan bahwa abad 21 merupakan abad Asia dengan berbagai kekhasan kultural yang ada.

Dengan merefleksikan kembali di tahun 2014, andai saat itu kita menganggukkan kepala setuju bahwa Indonesia memang belum siap sebagai tuan rumah event olahraga besar, tidak akan ada rasa bangga yang kita rasakan di tahun 2018. Sejak 5 dekade yang lampau, Indonesia telah berubah dan bergerak maju. Namun demikian masih banyak yang ragu bahwa bangsa ini dapat melakukan hal-hal yang besar.

Sejarah Politik sebagai Batu Sandungan Mimpi Besar

Setiap rencana penyelenggaraan event olah raga internasional, di mana pun, selalu memunculkan sejumlah nada skeptisme dan kritik di sebagian publik di Indonesia. Umumnya kontroversi muncul seputar persepsi bahwa penyelenggaraan olah raga merupakan acara yang buang-buang uang. Sementara itu ada kebutuhan pembangunan yang lebih bermanfaat.

Dalam hal ini, Indonesia tidak unik. Di banyak negara yang mengajukan sebagai tuan rumah event internasional besar, seperti Olimpiade maupun Piala Dunia selalu muncul polemik yang sama. Ambil contoh ketika London menyelenggarakan Olimpiade di tahun 2012 atau Brazil dengan piala dunia 2014. Belakangan, Norwegia menarik diri dari penyelenggaraan Olimpiade musim dingin karena, salah satunya, tekanan publik Norwegia.

Namun demikian polemik yang terjadi di Indonesia tampaknya unik, terutama bila ini dibingkai dalam kerangka politik sejarah Indonesia. Setiap polemik soal event olahraga internasional yang besar di Indonesia hampir selalu mencoba persamaan Indonesia ketika menyelenggarakan Asian Games di tahun 1962. Padahal Indonesia telah banyak berubah.

Pada tahun 1962 Indonesia menyelenggarakan Asian Games. Setahun sesudahnya, 1963, Indonesia menyelenggarakan GANEFO (Games of the New Emerging Forces). Penyelenggaraan event ini menjadi awal pembangunan besar-besaran infrastruktur pendukung olahraga.

Bagi mereka yang hidup dalam era pendidikan orde baru, hampir seluruh buku sejarah di bangku sekolah melabeli bahwa penyelenggaraan events ini, termasuk pembangunan infrastruktur besar olahraga, sebagai proyek Mercu Suar Soekarno. Seolah-olah pembangunan tersebut ditujukan hanya untuk “show-off” kepada dunia barat bahwa Indonesia merupakan kekuatan geopolitik. Sementara kehidupan masyarakat pada saat itu masih sulit.

Lebih dari dua dekade sejak Orde Baru jatuh, persepsi semacam ini masih saja melekat di sebagian publik Indonesia. Sebagian ragu mengenai kemampuan Indonesia. Sementara sebagian masih menganggap bahwa Indonesia masih “belum cukup kaya” untuk menyelenggarakan acara-acara internasional tersebut. 

Pihak yang meragukan kemampuan Indonesia tampaknya tidak menyadari bahwa Indonesia telah mengalami transformasi besar. Pada tahun 2019 ekonomi Indonesia telah menembus masuk ke dalam status negara dengan berpendapatan menengah-tinggi (upper-middle income countries) berdasarkan definisi Bank Dunia. Ini artinya Indonesia sejajar dengan Rusia, Afrika Selatan dan Brazil—tiga negara yang sudah menjadi langganan tuan rumah berbagai acara olah raga internasional.

Lalu mengapa polemik soal tuan rumah ini kerap muncul? 

Tentu saja polemik muncul juga sebagai bagian dari proses demokrasi. Di satu sisi ini juga dapat menjadi umpan balik untuk menjadi tuan rumah yang baik. Namun demikian ini juga menunjukkan masih lekatnya politik sejarah orde baru dalam pikiran kita. Dalam banyak hal, cara pandang ini sering menjadi batu sandungan besar bagi Indonesia dalam mencapai impian sebagai negara besar.

Indonesia sebagai middle-power memang sudah semestinya menjadikan kegiatan olah-raga internasional sebagai ajang  promosi dan diplomasi selain tentu juga sebagai momentum pendorong ekonomi lokal dan nasional. Dalam konteks peran olah raga sebagai diplomasi, negara seperti Australia saja secara khusus merumuskan strategi olah raga sebagai bagian strategi diplomasi dalam white paper berjudul “Sports Diplomacy”. Indonesia sebagai negara dengan ekonomi terbesar keempat di tahun 2030 seharusnya memiliki aspirasi serupa.

Momentum 2022: Recover Together, Recover Stronger

Pandemik COVID-19 memang masih bersama kita dan hasil kajian para epidemologis juga menyimpulkan bahwaCOVID-19 akan menjadi endemik: artinya kita akan hidup bersama COVID-19. Setelah sempat mengalami kenaikan kasus COVID-19 yang sangat tinggi, dalam beberapa minggu terakhir kita melihat adanya perbaikan dalam penanganan kasus.

Selain pengendalian kasus COVID-19 yang semakin baik, kita melihat ekonomi sudah mulai bergerak pulih. Tanggal 5 November lalu, BPS merilis pertumbuhan PDB Indonesia di kuartal ketiga 2021 yang mencapai 3.5% secara year-on-year (yoy). Sementara pertumbuhan PDB Indonesia di kuartal kedua 2021 mencapai 7.07% (yoy). Dengan pertumbuhan positif selama dua kuartal berturut-turut, maka Indonesia secara umum dapat dikatakan keluar dari periode kontraksi ekonomi di tahun 2021. Apalagi dengan tren belanja masyarakat yang akan meningkat di akhir tahun 2021, kita optimistis bahwa 2021 merupakan momentum pemulihan ekonomi Indonesia.

Memasuki tahun 2022, ekonomi Indonesia diprediksikan akan memasuki tahap akselerasi pertumbuhan ekonomi paska COVID-19. Capaian ekonomi di tahun 2021, selain pertumbuhan yang solid namun juga cadangan devisa dan surplus neraca perdagangan, dapat menjadi milestone untuk melompat lebih tinggi di tahun 2022.

Dalam konteks forum global, Indonesia di tahun 2022 juga mengabil peran presidensi (chair) untuk forum G20—forum 20 negara/serikat dengan ekonomi terbesar di dunia.  Peran Indonesia sebagai Presidensi di G20 memiliki nilai strategis. Melalui forum ini, Indonesia dapat menyuarakan lebih vokal mengenai komitmen untuk mendorong pemulihan ekonomi global secara lebih inklusif dengan mengusung tema recover together, recover stronger. Indonesia juga akan menyuarakan kepentingan negara-negara berkembang terkait dengan sejumlah isu ekonomi, salah satunya ekonomi hijau dan keberlanjutan (sustainability).

Kalendar penting lain di tahun 2022 adalah kompetisi Formula E di DKI Jakarta dan juga Grand-Prix MotoGP di Nusa Tengara Barat (NTB) dengan Grand-Prix MotoGP. Kedua event ini mewakili apa yang disebut sebagai “wisata olahraga” (sport tourism), di mana event olahraga tidak semata dilihat dari aspek kompetisi melainkan juga dari sisi wisata (leisure). Saat ini, wisata olahraga merupakan salah satu kontributor perjalanan dan industri pariwisata global, dengan valuasi mencapai kurang lebih US$800 juta (Orbis, 2018, dikutip dari Revindo et.al, 2019). 

Khusus untuk Formula E, acara ini memiliki arti khusus. Formula E—E merujuk pada Electric car—dicetuskan di tahun 2013 oleh Federation Internationale de l’Automobil (FIA)—badan yang menyelenggarakan kegiatan Kompetisi F1. Serupa dengan ide penyelenggaraan F1—yaitu F1 diharapkan menjadi kegiatan yang dapat mendorong inovasi dalam teknologi kendaraan, Formula E diharapkan dapat juga menjadi pendorong inovasi teknologi kendaraan listrik. Dengan kata lain Formula E merupakan show case bahwa Grand-Prix yang lebih sustainable dan greener merupakan masa depan. 

Ekspektasi Manfaat Ekonomi


Tak dapat dipungkiri, penyelenggaraan event olahraga bertaraf internasional memberikan manfaat ekonomi dan non-ekonomi positif bagi tuan rumah penyelengara (host city/country). Event olahraga akan mengundang kedatangan wisatawan domestik dan asing dan membuka lapangan pekerjaan di sektor pariwisata. Belanja wisatawan sudah barang tentu akan mempengaruhi permintaan domestik yang pada gilirannya memberikan dampak positif bagi perekonomian tuan rumah penyelenggara. Sementara itu, dampak non-ekonomi yang timbul berupa penciptaan persepsi positif tentang “tuan rumah” yang pada gilirannya bisa mendorong kunjungan wisatawan lanjutan di masa depan. Even olahraga juga dipandang sebagai “tempat pergelaran (showcasing)” budaya dan kewirausahaan lokal.  


Tentu, timbulnya citra positif tuan rumah sangat bergantung dari kesuksesan dalam penyelenggaraan event. Kesuksesan dapat diwujudkan dengan menciptakan keramahan (hospitality), kenyamanan (comfortability), dan keamanan (security) bagi pengunjung selama menyaksikan event olahraga. 


Kajian dampak wisata olahraga terhadap perekonomian tuan rumah penyelenggara sudah banyak dilakukan. Studi Müller et.al (2016), menunjukkan bahwa kedatangan turis dan lamanya tinggal (length of stay) menciptakan efek permintaan dari sebelum, saat, dan setelah penyelenggaraan even. Sementara studi Roche (2013) menunjukkan efek positif jangka panjang dari kegiatan olahraga berasal dari terbangunnya citra positif tentang tuan rumah yang mendorong kunjungan-ulang bagi para turis di masa mendatang. Untuk kasus Indonesia, kajian yang dilakukan Revindo et.al (2019) terkait penyelenggaraan Asian Games Jakarta-Palembang 2018, menemukan bahwa kepuasan terhadap keberhasilan penyelenggaraan acara berasosiasi positif dengan peluang wisatawan untuk berkunjung kembali ke Indonesia.


Akselerasi Pemulihan Ekonomi melalui Olah Raga


Tahun 2022 merupakan momentum Indonesia untuk mengakselerasikan pemulihan ekonomi nasional. Secara umum hampir seluruh sektor ekonomi nasional menunjukkan tanda-tanda pemulihan, kecuali sektor pariwisata. Sementara itu dua propinsi yang mengandalkan pariwisata masih jauh dari pulih, yaitu Nusa Tenggara barat dan Bali. Sebagai sektor pariwisata yang paling terdampak pandemi, Penyelenggaran even olahraga internasional akan mempercepat pemulihan di sektor ini, dan perekonomian secara umum. 


Bagi DKI Jakarta dan NTB, kesuksesan dalam penyelenggaraan Formula E dan Grand Prix MotoGP akan menciptakan citra positif bagi sektor pariwisata, yang pada gilirannya akan mendorong sektor-sektor lain pulih lebih cepat melalui pengaruh efek permintaan (demand side effect). 


Berdasarkan informasi kegiatan Formula E diperkirakan akan mendorong ekonomi DKI Jakarta cukup signifikan. Biaya penyelenggaraan Formula E sebesar Rp 350 milliar (commitment fee). Selain itu pengeluaran modal terkait dengan pembangunan infrastruktur persiapan formula E yang diperkirakan sebesar Rp 200-310 milliar.


Dengan menggunakan analisis Input-Output DKI Jakarta, Formula E akan akan menciptakan manfaat ekonomi sebesar Rp 460-540 milliar dari pembiayaan kegiatan yang memakan dana sebesar Rp 200-310 miliar. Besarnya angka ini diperoleh dari efek berganda (multiplier effect) dari pembangunan infrastruktur ditambah dengan penerimaan langsung dari event. Tambahan manfaat ekonomi ini setara dengan kenaikan pertumbuhan PDRB Jakarta sebesar 0.02%.


Angka di atas belum memperhitungkan dampak dari hosting fees yang sebesar RP 350 milliar. Sebagian dari fees tersebut diperkirakan akan kembali digunakan oleh tim dan kontingen tim Formula E yang hadir di Jakarta. Artinya, manfaat ekonomi bila memperhitungakan hosting fee dan juga pembiayaan penyelenggaran infrastruktur dapat menembus setidaknya hingga Rp 1.2 triliun atau setara dengan pertumbuhan PDRB Jakarta sekitar 0,055%.


Secara sectoral, belanja dan perjalanan yang dilakukan peserta, kru (official team), dan pengunjung bisa mempercepat pemulihan sektor penyediaan akomodasi dan makanan dan minum, dan sektor transportasi yang selama pandemi mengalami kontraksi cukup hebat. Demikian juga, dampak positif juga akan muncul di tahap persiapan terkait kegiatan konstruksi area balapan, khususnya penyediaan lapangan kerja. 


Peran sektor jasa seperti akomodasi dan restoran di wilayah perkotaan dan daerah wisata sangat penting bagi penyerapan tenaga kerja. Studi Suryadarma et.al (2007) mengindikasikan bahwa setiap 1% pertumbuhan di sektor jasa akan meningkatkan sekitar 0,2% kesempatan kerja di wilayah perkotaan. Artinya Formula E juga dapat menjadi pertumbuhan yang lebih inklusif dengan meningkatnya penyerapan tenaga kerja. 


Sementara itu, Grand Prix MotoGP memiliki makna sangat penting bagi pemulihan pariwisata di NTB, khususnya di Pulau Lombok. Kehadiran peserta, kru, penonton sudah barang tentu membawa angin segar bagi sektor pariwisata. Selama pandemi, sektor akomodasi dan retoran terkontraksi cukup signifikan, dengan hanya menyumbang 1,44% terhadap PDRB NTB. Tanda-tanda pemulihan juga belum terlihat, sektor ini masih tumbuh negatif pada q1-q2 tahun 2021. Sementara itu, sektor angkutan darat masih mencatat pertumbuhan positif meskipun masih tertekan pandemi.


Efek penyebaran (spill-over effect) juga akan dirasakan wilayah-wilayah di sekitar area penyelengaraan, sebut saja BODETABEK dan Bali akan menerima manfaat tidak langsung dari even yang dihelat di Jakarta dan Lombok.


Penyelenggaraan Formula E juga spesial. Melalui ajang ini, Pemerintah nasional dan juga daerah dapat menjadikan ajang penyelenggaran Formula E sebagai media kampanye mengenai isu-isu keberlanjutan. Sebagaiman ide awal dari Formula E oleh FIA yang berupaya menjadikan Formula E sebagai pengungkit inovasi mobil elektrik, pemerintah dapat menggunakan ajang ini untuk menunjukkan komitmen Indonesia terhadap pembangunan yang berkelanjutan. Ini dapat menarik investasi ke green sector seperti electric vehicle dan juga battery. Momentum olahraga ini dapat menjadi katalis untuk mendorong industry otomotif nasional menjadi bagian dari global supply chain dari industry global otomotif yang lebih hijau.


Prasyarat Sukses


Ada tiga upaya mitigasi agar penyelenggaraan wisata olahraga sukses, ekonomi daerah membaik, dan risiko penyebaran virus bisa tekan. 


Pertama, protokol dan standar kesehatan harus menjadi perhatian khusus. Untuk mengurangi resiko penyebaran virus, tiap yang terlibat dalam penyelenggaraan (atlet, kru, spektator) harus menjalani test bebas Covid19, vaksinasi penuh, dan karantina. Pengetesan bisa dilakukan saat kedatangan, selama acara, dan waktu kepulangan.

Kedua, melakukan screening, dan pembatasan khususnya bagi penonton berisiko. Kebijakan tes bebas Covid19, vaksin penuh, dan masker perlu diterapkan. Pengaturan venue penonton juga harus memperhatikan jarak fisik (physical distancing). Pembatasan tentu akan mengurangi gebyar even olahraga yang dihelat, sekaligus hilangnya potensi dampak ekonomi langsung dari uang yang dibelanjakan penonton. Namun, dampak ekonomi tidak langsung yang lebih besar akan timbul jika even dijalankan dengan sukses dan penyebaran virus bisa ditekan.


Terakhir, potensi “kebocoran belanja (spending leakages)” di mana tidak semua belanja pengunjung terjadi di lokasi acara (tuan rumah), selalu ada. Sebagai ilustrasi, Bali mungkin akan menerima spill-over effect dari penyelenggaraan Grand Prix MotoGP di Lombok. Pengunjung akan singgah dan menghabiskan waktu lebih lama di Bali, daripada di Lombok, oleh karena orang lebih dahulu mengenal Bali dengan budaya, keramahan (hospitality), dan citra pariwisata.


Untuk itu, tuan rumah perlu melakukan persiapan dan promosi. Penyediaan infrastruktur dan akomodasi, penyiapan sumber daya manusia, dan penataan wilayah perlu dilakukan untuk mendaptkan rasa percaya dan citra baik sebagai tuan rumah. Jakarta dan Lombok perlu membangun kerjasama dengan berbagai pihak, swasta maupun dengan wilayah lain di sekitar, BODETABEK dan Bali.        


Pemerintah daerah memiliki tanggung jawab besar terhadap pemulihan ekonomi sekaligus menjaga kesehatan masyarakat. Risiko akan selalu ada, kuncinya adalah tata kelola, transparansi, kolaborasi dan inklusi demi meminimalisir dampak buruk yang timbul. Momentum itu jarang datang dua kali!

Ainul Huda – Executive Director
Teguh Yudo Wicaksono – Advisor

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

logo-dts

Direction Our Office

Copyright © 2021. DTS Indonesia All rights reserved.